Memahami Kenakalan Remaja Dari Sudut Psikologi

Kenakalan remaja merupakan kata klise yang sering keluar dari lisan kita semua. Begitu mudah dua kata itu terucap manakala kita menyaksikan ulah remaja yang membuat kesal orang tua, guru, ataupun masyarakat umum. Kenakalan remaja tidak selalu berkonotasi negatif, adakala hal itu hanyalah letupan emosional remaja dalam menghadapi masalahnya.

Kenakalan

Bagaimana sih seharusnya kita memahami kenakalan remaja terutama dalam korelasi remaja yang bersangkutan dengan orang renta atau keluarganya ? Buehh mantap ! Pertanyaannya serius banget.

Nah, goresan pena ringan ini mungkin dapat sedikit membantu memahami pertanyaan yang serius banget tersebut (he he ... a.k.a memahami kenakalan remaja dari sisi psikologi).

Kenakalan remaja dan sudut pandang psikologi 

Kata orang, saat-saat yang sering membuat pusing orang renta yakni ketika anak-anaknya menginjak usia remaja. Misalnya anak yang tadinya pendiam tiba-tiba menjadi anak yang suka marah, anak yang tadinya penurut bermetamorfosis suka membangkang. Hmm, … merepotkan memang. Tapi apakah mereka kelak akan selamanya menyerupai itu ?

Psikolog Dr. Haims Gimet menyebut usia remaja yang bikin pusing orang renta itu sebagai masa disorganisasi. Masa disorganisasi yakni masa transisi dari masa belum dewasa yang terorganisasi bermetamorfosis masa remaja yang mengalami disorganisasi, sebelum akibatnya bergerak menuju masa reorganisasi sewaktu yang bersangkutan berakal balig cukup akal nanti. Usia-usia remaja ini katakanlah sebagai masa “galau” yang menyembuhkan, tulis Gimet dalam bukunya Between Parents and Teenagers.

Banyak sekali referensi ihwal transisi kejiwaan pada masa remaja yang ditandai dengan “badai kegalauan” itu. Ketika masih belum dewasa mereka tergolong alim dan manis. Kemudian memasuki usia remaja bermetamorfosis badung dan merepotkan, dan setelah berakal balig cukup akal menjadi baik kembali.

Contohnya, dalam sejarah Islam siapa yang tidak mengenal Umar ibnu Khattab ? Sahabat Nabi yang satu ini berahlak mulia, pengasih, rela berkorban, berani, dan ksatria. Budi pekertinya yang luhur diakui oleh seluruh dunia Islam. Tapi siapa yang menyangkal jikalau pribadi yang penuh teladan itu dimasa remajanya dahulu sangat badung kelakuannya. Dulu, Umar yakni tipe remaja kafir tulen. Namun demikian, masa lalu serta perbuatan maksiat yang dilakukan Umar sebelum ia beriman kepada Tuhan eksklusif dikunci begitu dua kalimat syahadat diucapkan.

Dari uraian singkat perubahan kehidupan Umar itu, pelajarannya bagi kita yakni apakah untuk remaja yang terlanjur “rajin” bikin pusing orang renta itu mampu bermetamorfosis baik menyerupai halnya Umar ? Jawabnya tentu saja bisa. Perubahan menyerupai itu lumrah dan dan sangat sering terjadi.

Pada dasarnya Gimet memandang masa transisi kejiwaan tersebut sebagai proses yang alami dan manusiawi sifatnya. Kenakalan remaja yang memusingkan itu mampu terjadi pada remaja dimana saja, dan kapan saja. Sebab secara psikologis mereka sedang tertarik-tarik diantara dua kutub : yaitu masa belum dewasa yang akan dihapuskannya tetapi masih melekat dan alam berakal balig cukup akal yang absurd dan belum dikuasai. Wajar bukan jikalau mereka menjadi badung dan susah diatur ? Dipandang dari segi usia, mereka memang sedang masanya menyerupai itu.

Kenakalan

Kenakalan remaja dan proses pendewasaan diri

Antara kenakalan remaja dan kriminalitas dipisahkan garis yang amat tipis. Sudah barang tentu kesimpulan Gimet ihwal sifat yang alami dan manusiawi dari transisi kejiwaan itu tidak untuk membenarkan terjadinya kenakalan remaja. Apalagi membenarkan kriminalitas. Pandangan Gimet lebih sempurna jikalau dipakai sebagai adegan dari upaya memahami masa remaja yang sedang dilanda resah itu.

Terlepas dari alasannya sendiri-sendiri, keinginan menjadi insan yang baik dan memiliki kegunaan dihari depan tentu menjadi keinginan baik dari orang renta maupun remaja. Orang renta merasa pusing ya alasannya yakni berkepentingan dengan masa depan anaknya. Sudah pasti ia khawatir dan tidak ingin anaknya terjerumus dalam ulah dan pergaulan bebas yang tidak sehat.

Sebaliknya bagi remaja, seberapapun kadarnya, transisi kejiwaan yang penuh kegalauan itu mau tak mau pasti dilewati demi pematangan pola berpikir dan berperilaku yang bersangkutan ketika berakal balig cukup akal nanti. Itulah sunatullah. Melewati masa remaja yang “galau” itu yakni adegan dari proses pendewasaan remaja itu sendiri.

Yang diharapkan disini yakni pemahaman kritis kita semua berkenaan dengan transisi kejiwaan yang sedang dialami remaja. Tanpa perlu bersikap permisif, kita mampu ‘kan melihat kenakalan remaja itu dalam konteks psikologi dan kedinamikaan mereka ?

Wallahu’alam.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post